Friday, July 23, 2010

PEMBENTUKAN KUTLAH SAHABAT

ada awal dakwahnya, Nabi Saw. mengajak orang-orang yang tertarik dan slap
menerima dakwahnya tanpa melihat usia, tempat tinggal, jenis kelamin, dan asainya.
Ajakan kepada Islam, dilakukan tanpa pilih kasih. Beliau mengajak semua umat
manusia, dan menuntut kesiapan mereka untuk menerima Islam. Oleh kerana itu,
banyak orang yang masuk Islam. Beliau sangat bersemangat membina setiap orang
yang memeluk Islam, dengan mengajarkan hukum-hukum agama dan menuntut mereka
untuk menghafalkan al-Quran.

Akhirnya, mereka membentuk sebuah kutlah (Kelompok) yang siap mengemban
dakwah (jumlah mereka sejak diutusnya Rasul hingga turunnya perintah untuk
menampakkan dakwahnya ada 40 orang). Kutlah ini terdiri dari kaum pria dan wanita
dari berbagai daerah dan usia. Kebanyakan mereka dari kalangan pemuda. Di antara
mereka ada yang lemah, kuat, kaya.. dan miskin. Setiap orang mengimani Rasulullah
Saw., menaatinya, dan menekuni dakwah bersama-sama beliau. Mereka antara lain Ali
bin Abi Thalib yang berusia 8 tahun. Zubair bin al-Awwam 8 tahun, Thalhah bin
'Ubaidillah 11 tahun, Arqam bin Abi al-Arqam 12 tahun, Abdullah bin Mas'ud 14 tahun.
Said bin Zaid kurang dari 20 tahun, Sa'ad bin Abi Waqash 17 tahun, Mas'ud bin Rabi'ah
17 tahun, Ja'far bin Abi Thalib 12 tahun, Shuhaib ar-Rumi (orang Romawi) di bawah 20
tahun, Zaid bin Haritsah 20 tahun, 'Utsman bin Affan 20 tahun, Thalib bin 'Umair 20
tahun, Khabab bin alArat 20 tahun, Amir bin Fuhirah 23 tahun, Mush'ab bin 'Umair 24
tahun, Miqdad bin al-Aswad 24 tahun, Abdullah bin Jahsy 25 tahun, 'Umar bin
Khaththab 26 tahun, Abu 'Ubaidah bin Jarrah 27 tahun, 'Utbah bin Ghazwan 27 tahun,
Abu Hudzaifah bin 'Utbah 30 tahun, Bilal bin Rabah 30 tahun, 'Iyasy bin Rabi'ah 30
tahun, Amir bin Rabi'ah 30 tahun, Na'im bin Abdillah 30 tahun, 'Utsman, Abdullah,
Qudamah, dan as-Saib (semuanya anak-anak Mazh'un bin Habib) yang masing-masing
berusia 30, 17, 17, dan 20 tahun, Abu Salamah Abdullah bin Abd al-Asad al-
Makhzumiy 30 tahun, Abdurrahman bin Auf 30 tahun, Ammar bin Yasir yang berusia
antara 30 dan 40 tahun, Abu Bakar Shiddiq 37 tahun, Hamzah bin Abd al-Muththallib
42 tahun, dan 'Ubaidah bin alHarits yang berusia 50 tahun. Begitu pula terdapat
beberapa kaum wanita yang beriman.

Ketika tsaqafah para sahabat sudah matang, telah terbentuk dalam akal mereka akal
yang islami (Agliyah Islamiyah), clan jiwa mereka sudah menjadi jiwa yang islami
(Nafsiyah Islamiyah) dalam kurun waktu selama 3 tahun, maka Rasulullah Saw. merasa
tenang dan meyakini kematangan pemikiran dan keluhuran jiwa mereka. Beliau
menyaksikan kesadaran mereka yang terbentuk dari hubungan mereka dengan Allah
tampak berpengaruh dalam perilaku mereka. Perasaan beliau menjadi senang kerana
kaum Muslimin telah menjadi sebuah kutlah yang sangat kuat dan mampu menghadapi
semua kelompok masyarakat. Ketika itu, Allah memerintahkan untuk menampakkan
dakwah Islam secara terang-terangan.

TITIK AWAL DAKWAH RASUL

Tatkala Rasulullah diutus, beliau mengajak isterinya Khadijah (memeluk Islam), lalu dia beriman. Kemudian beliau mengajak putra pamannya, lalu dia pun beriman. Beliau
mengajak pula maula (budak)-nya, Zaid, lalu dia beriman. Beliau mengajak sahabat
karibnya, Abu Bakar, dia pun beriman. Kemudian mengajak pula banyak orang.
Sebahagian beriman dan sebagian lainnya kafir.

Ketika Abu Bakar memeluk Islam, dia menampakkan keislamannya kepada orangorang
yang dipercayainya seraya mengajaknya kepada Allah dan Rasul-Nya. Abu Bakar
adalah seorang pria yang menjadi tempat tumpuan kaumnya. Dia mencintai dan banyak
memberikan kemudahan pada mereka. Kaumnya seringkali mendatanginya, dan bergaul
akrab dengannya untuk berbagai urusan, baik karena ilmunya, kepandaian dagangnya,
atau pergaulannya yang akrab. Maka tidak heran jika Utsman bin Affan, Zubair bin
Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqash dan Thalhah bin Ubaidillah
memeluk Islam melalui perantaraannya. Abu Bakar datang bersama mereka menemui
Rasul. Lalu mereka masuk Islam dan menjalankan shalat. Kemudian Abu 'Ubaidah yang
nama aslinya Amir bin Jarah, Abu Salamah yang nama aslinya Abdullah bin 'Abd al-
Asad, Arqam bin Abi Argam. Utsman bin Mazh'un, dan yang lainnya menyatakan din
masuk Islam. Tidak berapa lama, banyak orang baik laki-laki maupun wanita secara
bergelombang memeluk Islam sehingga sebutan Islam tersebar di kota Makkah dan
menjadi perbincangan masyarakat.

Pada awal masa dakwahnya. Rasulullah berkeliling mendatangi rumah-rumah mereka.
sambil mengatakan, "SesungguhnyaAllah memerintahkan kalian untuk menyembahNya
dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. " Beliau mengajak masyarakat
Makkah untuk masuk Islam secara terangterangan, semata-mata untuk melaksanakan
perintah Allah:

"Hai orong yang berselimut. bangunlah, lalu berilah peringatan"
(QS. al-Muddatstsir [74]: 1-2).

Setiap berjumpa dengan orang lain, beliau selalu menawarkan agamanya kepada
mereka, dan membentuk mereka menjadi kelompok tangguh secara rahasia. Kelompok
itu berdiri di atas dasar agama Islam. Untuk menjalankan shalat, para sahabat Rasul
pergi ke bukit-bukit dan menyembunyikan pelaksanaan shalat dari kaumnya. Rasulullah
Saw mengirim para sahabat yang lebih dulu masuk Islam dan paham tentang agama
Islam, untuk mengajarkan al-Quran kepada orang-orang yang baru memeluk Islam.
Beliau mengutus Khabab bin al-'Arat untuk mengajarkan al-Quran kepada Zainab bin
al-Khaththab dan Said, suaminya. Pada saat mereka berada di rumah Sa'id dan Khabab
sedang membacakan al-Quran kepada mereka, tiba-tiba Umar datang. Namun, tidak
lama kemudian is masuk Islam melalui halaqah ini. Upaya Rasulullah Saw tidak hanya
itu. Beliau juga menetapkan sebuah rumah untuk dijadikan tempat mengajar kaum
Muslimin tentang Islam, dan menjadikannya markas kelompok orang-orang yang
beriman sekaligus madrasah untukdakwah agama baru (Islam). Rumah itu adalah rumah
al-Arqam bin Abi al-Arqam. Beliau mengumpulkan orang-orang Islam didalamnya, dan
membacakan al-Quran kepada mereka. menjelaskannva dan memerintahkan mereka
untuk dan memahami dan mengamalkannya. Setiap ada orang masuk Islam. beliau
menggabungkannya ke dalam rumah al-Argam. Beliau tingqal di sana selama tiga tahun
dan membina tsaqafah umat Islam. shalat berjama'ah dengan mereka, dan shalat
tahajjud yang diikuti oleh mereka. Di tengah mereka timbul kehidupan ruhani yang
diwarnai dengan shalat dan membaca al-Quran. Di tengah tengah mereka dibangkitkan
aktiviti berfikir tentang ayat-ayat Allah dan merenungkan makhluk-makhluk-Nya.
Akal mereka diwarnai tsaqafah mengenai makna-makna al-Quran dan lafadz-lafadznya.
pemahaman-pemahaman Islam dan pemikiranpemikirannya. Beliau menjadikan mereka
orang yang sabar menghadapi penderitaan. dar: redha dalam ketaatan dan keteladanan.
sehingga mereka ikhlas menerima Allah, Dzat Yang Maha Luhur dan Maha Kuasa. Nabi
dan para sahabat ketika itu masih menyembunyikan keislamannya di rumah Arqam bin
Abi al-Arqam sampai turun firman Allah dalam surat al-Hijr ayat 94 yang
memerintahkan mereka untuk menampakkan keislaman:

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah kamu dari orang-orang yang musyrik
Taqiyuddin an-Nabhani
Negara Islam
Tinjauan Fahtual
Upaya Rasulullah SAW.
Membangun Daulah Islamiyah
Hingga Masa Keruntuhannya
aeruustakaan nasional : Kataiog dalam Terbitan (KDT
An-Nabhani, Tagiyuddin
Negara Is'iam Tinjauan Faktual Upaya Rasulullah Saw Membangw Daulah Islamiyah
hingga Masa Keruntuhannya/ Taqiyuddin An-Nabhani; Penerjemah. Umar Faruq; Penyunting.
Saifullah. -Depok : Pustaka Thariaul Izzah, 2000 360 hIm, ; 20,5 cm
Judul Asli ad-Daulah ai-lslamiyah ISBN 979-9478-02-2
1. Negara Islam, I. Judul. II. Faruq. Uma- Sa fu 'a
297.632
Judul Ash : Ad-Daulah AI-Islamiyah
Penerbit : Daar aI-Ummah
Pengarang : Taqiyuddin An-Nabhani
Cetakan V. Tahun 1414 H/1994 M
Edisi Indonesia
Penerjemah : Umar Faruq dkk.
Penyunting : Saifullah
Penata Letak : Hanafi
Desain Sampul : Rian
Penerbit : Pustaka Thariqul 'Izzah
JI. Raya Baru Kemang No.20 KM 8 - Bogor - 16000
Telp. (0251)343320
Sabda Rasulullah Saw:
"Kenabian akan terjadi di tengah kalian seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian Allah
menghapusnya (menggantikannya) jika menghendaki menghapus. Kemudian akan ada khilafah
(yang tegak) di atas manhaj nubuwah, lalu khilafah itu menjadi seperti yang dikehendaki
Allah. Kemudian Allah menghapusnya jika menghendaki menghapus. Kemudian akan ada
kerajaan yang
memegang teguh (Islam), lalu kerajaan itu menjadi seperti yang
dikehendaki Allah. Kemudian Allah menghapusnya jika menghendaki menghapus. Kemudian
akan ada kerajaan diktator,
lalu kerajaan itu menjadi seperti yang dikehendaki Allah.
Kemudian Allah menghapusnya jika menghendaki menghapus. Kemudian khilafah akan terjadi
[lagi] di atas manhaj nubuwah. "
Pustaka Thariqul
Izzah
Cetakan I, Ramadhan 1421
H - Desember 2000 Ho ~
DAFTAR ISI
Halaman Judul .......................................................... ................In
Daftar Isi ........................................................................... ........vii
Motto .................................................................................... ......v
Pendahuluan ............................................................... ...............1
Titik Awal Dakwah Rasul .............................................. ..............6
Pembentukan Kutlah Sahabat .............................. ......................9
Titik Tolak Dakwah ........................................................... .......11
Perlawanan Terhadap Dakwah ............................ ....................14
Interaksi Dakwah ........................................ ............................24
Dua dari Tahapan Dakwah Rasul ......................................... .....32
Perluasan Medan Dakwah ....................................... .................38
Bai'at Agabah Pertama ........................................... .................41
Dakwah di Madinah .................................................................. 42
Bai'at Agabah Kedua ................................................. ..............48
Mendirikan Negara Islam ............................................ ............60
Membangun Masyarakat ..................................................... .....63
Persiapan Perang .................................................... ..................70
Awal Peperangan ........................................................... ...........74
Kehidupan di Madinah ......................................................... ....80
Polemik dengan Kaum Yahudi dan Nasrani ............................83
Perang Badar ................................................................. ..........89
Pengusiran Bani Qainuga' ........................... ............................94
Stabilisasi Goncangan di Dalam Negeri ..................................96
Perang Ahzab .............................................. ..........................106
Perjanjian Hudaibiyah .................................................... ........118
Pengiriman Utusan ke Negara-negara Tetangga.....................134
Perang Khaibar ............................................................. .........139
Umrah Qadha'..................................................... ...................142
Perang Mu'tah ................................................................144
-,kiukan Makkah .............................................................150
hang Hunain ........................................ ..........................157
Perang Tabuk .......................................................... ............168
Penguasaan Ne a .',,am atas Jazirah Arab .............................175
Struktur Negara ~........................................................ .178
Kedudukan Ya>, -. di Mata Negara Khilafah ..........................185
Melanjutkan Negara Khilafah ......................... ...................193
Politik dalam Negeri Negara Islam ......................................201
Politik Luar Negeri Negara Islam ........................................211
Penaklukan-Penaklukan Islam adalah untuk
Penyebaran Islam ................................ .......................219
Pemusatan Daerah-daerah Penaklukan Islam ......................224
Sublirnasi Bangsa-bangsa Menuju Satu Umat ....................231
Faktor-Faktor yang Memperlemah Negara Islam ................240
Lemahnya Negara Islam ................................. ....................249
Serangan Misionaris ................................... ........................261
Perang Salib ...................................................................... ..276
Pengaruh Serangan Misionaris ................................. ..........283
Serangan Politik di Dunia Islam .................................... .....292
Melenyapkan Negara Islam ........................................... .....298
Upaya Barat Merintangi Tegaknya Negara islam .................315
Mendirikan Negara Islam Wajib atas Seluruh Muslim .... 326
Hambatan-hambatan Mendirikan Negara Islam .................334
Bagaimana Mendirikan Negara Islam ................................345
Pendahuluan
4
PENDAHULUAN
Generasi sekarang belum pernah menyaksikan Daulah Islam yang menerapkan sistem
Islam. Berbeda halnya dengan generasi yang hidup pada akhir masa Daulah Islam
(Daulah Utsmaniyah) yang telah diruntuhkan oleh bangsa Barat. Mereka adalah satusatunya
generasi yang sempat menyaksikan sisa-sisa Daulah dan peninggalan
Pemerintahan Islam.
Oleh karena itu, dyantara berbagai kesulitan yang dijumpai di tengah-tengah umat Islam
saat ini adalah mendekatkan gambaran Pemerintahan Islam yang sebenarnya dalam
benak mereka, karena gambaran yang ada telah banyak dipengaruhi oleh realitas sistem
pemerintahan yang ada sekarang. Pikiran mereka tidak mampu menggambarkan bentuk
Pemerintahan Islam, kecuali dalam cakupan yang digambarkan oleh sistem demokrasi
yang rusak, yang dipaksakan Barat pada negeri-negeri Islam.
Kesulitannya tidak hanya sampai di sini. Dijumpai pula kesulitan-kesulitan yang lain,
yaitu mengubah berbagai pemikiran umat yang telah teracuni oleh tsaqafah Barat.
Tsaqafah ini bebarbenar telah menjadi senjata andalan Barat dalam rnenghadapi Daulah
Islam. Tsaqafah ini pula yang mereka hunjamkan kepada Daulah Islam. sehingga
melahirkan kepedihan yang sangat mendalam dalam kehidupan umat. Barat kemudian
membawa senjata itu (tsaqafah) dan memberikannya kepada anak cucu Daulah' di saat
senjata tersebut masih meneteskan darah 'ibunya' (Daulah Islam) yang baru saja
dibunuh. Tatkala Barat membawa senjata ini, mereka berkata kepada 'anak cucu Daulah'
dengan sombong: "Sungguh aku telah membunuh ibu kalian yang memang patut
dibunuh karena perawatannya yang buruk terhadap kalian. Sekarang aku menjanjikan
perawatan yang membuat kalian bisa merasakan kebahagiaan hidup dan kenikmatan
yang nyata. "
Kemudian, anak-anak itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan si
pembunuh, padahal senjata sang pembunuh yang terhunus masih berlumuran darah ibu
mereka.
Sungguh, perlakuan pembunuh itu pada mereka seperti perlakuan serigala yang
menjadikan mangsanya lengah dari intaiannya. Mangsanya tidak akan bangun kecuali
dengan diterkam hingga darahnya mengucur, atau dijerumuskan ke dalam jurang,
kemudian serigala itu memangsanya.
Barat-yang telah memelintir kaum Muslim yang telah menjadi penganut tsaqafah
mereka- mengetahui benar bahwa, senjata beracun yang pernah dipakai menghabisi
Daulah Islam adalah senjata andalan yang selamanya bisa dipakai pula untuk
menghabisi kehidupan dan institusi umat Islam, selama mereka berpegang dengan
tsagafah>tersebut. Pikiran-pikiran yang mereka bawa seperti nasionalisme, sekularisme,
dan pemikiran lain yang dipakai untuk menikam Islam, adalah bagian dari pemikiran
beracun yang terkandung dalam tsaqafah Barat yang dicekokkan pada generasi Islam.
Bab "Serangan Missionaris" dari buku Negara Islam ini-dengan seluruh kenyataan dan
angka-angka yang menjadi bukti-menunjukkan kepada kita hakikat sang pembunuh
yang jahat, memahamkan kita tentang berbagai motif yang mendorong mereka untuk
melakukan tindakan kejahatan tersebut, serta memperlihatkan kepada kita berbagai
sarana yang mereka gunakan untuk melenyapkan sama sekali korban yang terbunuh
(yakni Daulah Islam). Semua itu pada akhirnya tidak lain ditujukan untuk melenyapkan
Islam. Dalam hal ini, tidak ada sarana yang bisa dijadikan andalan, kecuali tsaqafah
Barat yang datang bersama-sama dengan kristenisasi.
Umat Islam lupa akan bahaya tsaqafah ini. Mereka memang memerangi para penjajah,
tetapi pada saat yang sama, mereka pun mengambil tsaqafahnya. Padahal, tsaqafah
itulah yang telah mengakibatkan mereka terjajah. Dengan tsaqafah itu, penjajah
mencengkramkan jajahannya di negeri mereka. Selanjutnya. umat Islam menyaksikan
betapa banyak pandangan mereka yang saling bertentangan, rendah, hina, dan
menjijikan. Mereka membalikkan punggung dari orang-orang asing (Barat)-dengan
mengklaim bahwa hal itu dilakukan untuk memerangi mereka-seraya mengulurkan
tangan kepada Barat dari arah belakang dengan maksud untuk mengambil racunracunnya
yang mematikan itu, lalu menelannya. Akibatnya, mereka jatuh tersungkur di
hadapannya dalam keadaan binasa. Orang-orang bodoh menyangka mereka adalah para
syuhada yang gugur di medan perang. Padahal, mereka hanyalah petarung yang lupa
dan sesat.
Apa sebetulnya yang mereka kehendaki? Apakah mereka menghendaki negara yang
tidak berasaskan Islam, ataukah mereka menginginkan banyaknya negara di negerinegeri
Islam? Barat sebetulnya telah memberi mereka-sejak Barat berkuasa-banyak
negara dalam rangka menuntaskan strateginya untuk menjauhkan Islam dari
pemerintahan, memecah-belah negeri Islam, serta membius mereka dengan ~ikap phobi
akan kekuasaan. Setiap saat, Barat selalu memberi mereka negara baru, yang justru
semakin menyesatkan dan menambah perpecahan mereka. Barat selalu siap memberi
mereka lebih banyak dari semua itu, selama mereka (umat Islam) mengemban ideologi
dan persepsi Barat. Hal itu terjadi karena mereka membebek kepada Barat.
Esensi persoalannya bukanlah mendirikan banyak negara, tetapi membangun Daulah
yang satu di seluruh dunia Islam. Persoalannya juga bukan mendirikan negara asalasalan,
atau membangun negara yang diberi sebutan Islam, tetapi berhukum dengan
selain yang diturunkan Allah. Bahkan, bukan pula mendirikan negara yang dinamakan
Islam dan berhukum dengan undang-undang Islam. tetapi tidak membawa Islam sebagai
giyadah fikriyah (kepemimpinan berpikir Islam). Jadi, persoalannya bukan mendirikan
negara seperti yang disebutkan di atas. Namun membangun Daulah yang akan
melanjutkan kehidupan Islam yang terpancar dari aqidah, menerapkan sistem Islam di
tengah-tengah masyarakat, setelah nilai-nilainya merasuk ke dalam,jiwam serta
mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Daulah Islam bukanlah sebuah mimpi, bukan pula khayalan dalam imajinasi. Sebab,
bukti-buktinya benar ada dan memenuhi relung-relung sejarah selama 13 abad. Daulah
Islam adanya nyata sebagaimana adanya di masa lampau. Maka dari itu, Daulah Islam
juga pasti akan terwujud di masa yang akan datang. Unsur-unsur yang mengarah pada
terwujudnya Daulah, lebih kuat daripada yang menganggapnya mimpi. Saat ini, orang
yang memiliki akal jernih dari kalangan umat Islam adalah yang rindu akan kejayaan
Islam.
Daulah Islam bukan sekedar hasrat yang dibalut hawa nafsu, tetapi keharusan yang
Pendahuluan
6
diwajibkan Allah kepada umat Islam. Allah mewajibkan mereka untuk menegakkannya
dan mengancam mereka dengan siksaan-Nya jika mengabaikan pelaksanaannya.
Bagaimana mereka mengharapkan ridha Allah, sementara kemuliaan di negeri mereka
bukan milik Allah. Rasul-Nya, dan kaum Muslimin? Bagaimana mereka selamat dari
siksaan-Nya, sementara mereka tidakk menegakkan Daulah yang mempersiapkan
pasukan, menjaga daerah-daerah yang dikhawatirkan akan menjadi sasaran serangan
musuh, melaksanakan hudud Allah (hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan
masalah-masalah pidana). dan menerapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan
Allah?
Oleh karena itu, wajib atas kaum Muslimin menegakkan Daulah Islam. Sebab. Islam
tidak akan terwujud dan tidak akan tampak pengaruhnya secara nyata, kecuali dengan
terwujudnya Daulah. Negara mereka tidak bisa disebut Negara Islam kecuali Daulah
Islam memerintah negara itu.
Dengan demikian. mendirikan Daulah Islam bukan sesuatu yang mudah. dengan
sekedar memilih atau mengangkat para menteri -baik sebagai individu atau partai- lalu
mereka menjadi menteri-menteri yang duduk di dalam (kabinet) pemerintahan.
Sesungguhnya jalan menuju tegaknya Daulah Islam dihampari onak dan duri. dikepung
berbagai macam bahaya, dan dinenuhi berbagai macam tanjakan dan kesulitan.
Menggempur tsagatah selain Islam adalah sesuaru yang sulit, berpikir mendasar ada:
jalan yang penuh tanjakan_ dan pemerintahan yang tunduk papa Barat adalah banaya.
Sesungguhnya orang-orang yang meniti jalan dakwah Islam untuk mewujudkan Daulah
Islam adalah orang-orang yang menjalankan aktivitas untuk sampai pada terbentuknya
pemerintahan. Mereka menjadikan Daulah Islam sebagai metoda (thariqah) untuk
melanjutkan kehidupan Islam di negeri Islam, yang akan mengemban dakwah ke
seluruh penjuru dunia. Karena itu. anda akan menyaksikan mereka tidak akan menerima
pemerintahan yang terkotak-kotak, dan menolak berbagai bujuk rayu. Mereka juga tidak
menerima pemerintahan yang sempurna. kecuaii iika memberi peluang untuk
menerapkan Islam secara total.
Sesungguhnya buku Negara Islam ini tidak bermaksud mengisahkan sejarah Daulah
Islam. Buku ini bertujuan memvisualisasikan kepada masyarakat bagaimana Rasulullah
Saw mendirikan Daulah Islam. Bagaimana orang kafir menghantam Daulah Islam, dan
bagaimana umat Islam menegakkan Daulah Islam agar cahaya itu kembali ke alam yang
akan memberinya jalan dan petunjuk di tengah kegelapan.

Imam Ibnu Taimiyah VS Imam Al-Ghazali

Merenung Imam al-Ghazali saya termenung dengan hadith-hadith yang banyak tidak jelas dalam Ihya’. Merenung Ibnu Taimiyah, saya termenung melihat betapa keras dan lantangnya dalam membela akidah umat Islam daripada tercemar. Tetapi kedua-dua tokoh ini mempunyai satu persamaan yang sangat mendebarkan, iaitu mereka mempelajari Falsafah. Kalau Imam Ghazali mempelajari Falsafah kerana mahu mencari kebenaran, Ibnu Taimiyah pula mempelajari Falsafah untuk mencari kelemahan Falsafah dan kemudian bercita-cita untuk menghancurkannya. Ilmu yang sama, tapi tujuan yang berlainan. Itu yang membuatkan pandangan dan kritikan dari kedua tokoh tentang Falsafah sehingga kini dibicarakan oleh orang ramai.

Saya terdetik untuk menulis tentang kedua tokoh ini apabila Saudara Rausyan menulis sebuah artikel “Tentang al-Ghazali dan Ibn Taimiyah”, dan bagi saya ada beberapa perkara tentang Ibnu Taimiyah yang harus kita perhalusi. Jika Saudara Rausyan mengajak manusia untuk memahami Imam Ghazali dengan cara membaca karyanya secara total, maka saya pula menyeru semua manusia menilai dan mengkaji pemikiran Ibnu Taimiyah secara kaffah pula. Mungkin itu lebih adil dan saksama dalam menilai pemikiran kedua-dua tokoh ini.

Bukan semua yang ditulis oleh Saudara Rausyan saya menolak, banyak poin yang dicerna dan ditulis baik oleh beliau saya bersetuju. Namun dalam persetujuan itu, terselit beberapa penafian yang harus saya jelaskan dalam artikel kali ini. Artikel ini bukan mahu menyebelahi mana-mana tokoh, tetapi sekadar membersihkan dan menjelaskan pandangan atau tulisan yang kurang tepat yang telah dilontarkan.


Saudara Rausyan menulis:
“Begitu juga dengan tassawuf. Ibn Taimiyah menyerang kesuluruhan institusi tassawuf manakala Imam al-Ghazali tidak melihat begitu!”

Jawapan saya:
Al-Imam Yusuf al-Qardhawi dalam fatwanya berkenaan dengan Tasawuf mengambil jawapan dari Imam Ibnu Taimiyah tentang perkara ini. Kata Imam Ibnu Taimiyah:

“Pandangan aku dalam masalah tasawuf ada dua, iaitu, sebahagian termasuk ahli fiqih dan ilmu kalam mencela dan menganggap para sufi itu ahli bid'ah dan di luar Sunnah Nabi saw. Manakala sebahagian lagi terlalu berlebih-lebihan dalam memberikan pujian dan menganggap mereka paling baik dan sempurna di antara manusia setelah Nabi saw. Kedua-duanya tidak benar. Yang benar ialah bahawa mereka ini sedang dalam usaha melakukan pengabdian kepada Allah, sebagaimana usaha orang-orang lain untuk menaati Allah swt. Dalam keadaan yang pertama di antara mereka, ada yang cepat sampai dan dekat kepada Allah, orang-orang ini dinamakan Minal muqarrabiin (orang-orang yang paling dekat dengan Allah), sesuai dengan ijtihadnya; ada pula yang intensitas ketaatannya sedang-sedang saja. Orang ini termasuk bahagian kanan: Min ashhaabilyamiin (orang-orang yang berada di antara kedua sikap tadi). Di antara golongan itu ada yang salah, ada yang berdosa, melakukan taubat, dan ada pula yang tetap tidak bertaubat. Yang lebih sesat lagi adalah orang-orang yang melakukan kezaliman dan kemaksiatan, tetapi menganggap dirinya orang-orang sufi. Masih banyak lagi dari ahli bid'ah dan golongan fasik yang menganggap dirinya golongan tasawuf, yang ditolak dan tidak diakui oleh tokoh-tokoh sufi yang benar dan terkenal. Sebagaimana Al-Junaid dan lain-lainnya.”


Dalam kenyataan di atas, Imam Ibnu Taimiyah tidak pernah sama sekali menolak Tasawuf secara total. Malahan beliau memperakui tokoh Sufi yang besar iaitu Al-Junaid. Apa yang jelas, selagi golongan tasawuf ini menjalankan aktiviti mereka berdasarkan al-Quran dan Assunah, selagi itu kita memperakuinya. Sepertimana yang dijelaskan oleh tokoh mereka sendiri iaitu Al-Junaid, “Barangsiapa yang tidak hafal Al-Quran dan menulis hadith-hadith Nabi saw. Maka tidak boleh dijadikan ikutan dan ditiru, kerana ilmu kita (tasawuf) terikat pada kitab Al-Qur'an dan As-Sunnah.”


Hanya itu sahaja yang saya mahu jelaskan? Ya memang benar, hanya satu perkara sahaja yang saya mahu jelaskan, kerana kebenaran tetap kebenaran. Menjadi masalah apabila mereka yang menulis tidak Quote betul-betul apa yang diperkatakan oleh orang yang berkata tersebut. Itu juga boleh dikenali sebagai jenayah Ilmiyah kerana ia bakal menjadi fitnah dan tuduhan yang tidak berasas kepada seseorang tokoh. Moga kita sama-sama menjaga displin ilmu dalam memetik atau memanjang-manjangkan sesuatu perkataan yang dikeluarkan oleh mana-mana tokoh.

Akhir kata, saya memetik sebuah konklusi yang jelas dan padat dari sebuah buku yang saya baca bertajuk, “Ibnu Taimiyah Versus Para Ahli Falsafah, sebuah polemik logika” : Jika kita membebaskan diri daripada sikap mengkafirkan orang lain, kedua teori ini iaitu Logika Rasional Aristoteles dan Teori Empirisisme yang dicanangkan oleh Imam Ibnu Taimiyah, maka kita dapat lihat kedua-dua teori ini amat diperlukan dalam perkembangan Epistemologi dalam Islam. Kedua-duanya dapat dikembangkan sesuai dengan objek atau lapangan kajian yang tersendiri. Ataupun, kedua-dua teori ini dapat dikembangkan secara pergabungan menjadi satu teori yang padu. Menyedari kekuatan dan kelemahan kedua-dua teori yang dimiliki, maka jika penerapan dapat dilakukan secara mendalam pasti ia akan dapat menghasilkan satu pemikiran dan sikap wacana yang eksklusif.

Sejarah Hidup Imam Al Ghazali - Bahagian II

Karya-Karyanya*
*Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204

Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:
1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
5. Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:

(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).

Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).

Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.

(2) Mahakun Nadzar.
(3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
(4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
(5) Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
(6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
(7) Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
(8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329).

Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.

(9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
(10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
(11) Qanun At Ta’wil.
(12) Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
(13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.
(14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
(15) Ar Risalah Alladuniyah.
(16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya:

Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/334).

Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).

Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.

(17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.
(18) Al Wasith.
(19) Al Basith.
(20) Al Wajiz.
(21) Al Khulashah.

Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.

Aqidah dan Madzhab Beliau
Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”

Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.

Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.

Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).

Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:

Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.

Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).

Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).

Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”

***
Sumber: Majalah As Sunnah
Penyusun: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.

Sejarah Hidup Imam Al Ghazali - Bahagian I


Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau

Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).

Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.

Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).

Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu

Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”

Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”

Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).

Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.

Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).

Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).

Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).

Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.

Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya

Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.

Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).

Polemik Kejiwaan Imam Ghazali

Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.

Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.

Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

Masa Akhir Kehidupannya

Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).

-bersambung insya Allah-

***

Sumber: Majalah As Sunnah
Penyusun: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.